Kantor Hukum DRDR untuk Indonesia

Semua warga negara memiliki hak dan kesetaraan yang sama di depan hukum.

Layanan Terbaik Kebutuhan Konsultasi Hukum

Kantor Hukum DRDR berkomitmen memberikan pelayanan terbaik bagi semua warga yang membutuhkan.

Consulting

Melayani konsultasi dan bantuan hukum bagi masyarakat marginal.

Litigation

Layanan publik dalam menyelesaikan berbagai sengketa hukum

Conciliation

Penanganan perkara non litigasi yang sedang dan akan dihadapi

Photo Gallery

Artikel Hukum

Pasal-Pasal Karet UU ITE Dapat Membatasi Kebebasan Berpendapat

Mungkin tidak banyak disadari netizen, UU ITE No 11/2008 memiliki keterbatasan dimana dapat mengancam kebebasan berpendapat para netizen. Ada pasal-pasal karet dan juga ketumpangtindihan dengan aturan lainnya.

Seperti apa pasal karet dan wujud ancamannya bagi netizen, yuk simak hasil diskusi publik dengan tema Mengawal Bersama Sidang Revisi UU ITE di DPR RI bareng LSM Satu Dunia yang diselenggarakan di Comma Id, One Wolter Place (18/2).

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik diresmikan pada tahun 2008. UU ITE ini mulai menuai perhatian ketika seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari, diperkarakan karena mengritik kinerja sebuah rumah sakit melalui sebuah mailing list. Merasa dicemarkan nama baiknya, pihak rumah sakit pun menuntut ibu rumah tangga tersebut.

Selain ibu rumah tangga tersebut, ada juga kasus lain yang menimpa mahasiswa di Yogyakarta, Florence Sihombing. Ia berkeluh kesah tentang kota tersebut dengan bahasa kasar di sebuah media sosial. Alhasil warga Yogyakarta pun marah. Si mahasiswa tersebut akhirnya mencicipi terali besi selama dua bulan, didenda Rp 10 juta dan skors selama satu semester dari Universitas karena dianggap melanggar UU ITE pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2.

Dari tahun ke tahun jumlah netizen yang dianggap melanggar pasal 27, 28, dan 29 UU ITE semakin meningkat. Oleh karenanya sebelum UU ITE ini dilakukan revisi maka sebaiknya netizen waspada dan lebih berhati-hati dalam berpendapat di ranah maya. Dan aturan berpendapat ini tidak hanya tertuang di media sosial seperti blog, facebok, twiter, dan sebagainya, akan tetapi juga bisa menjerat melalui media komunikasi lainnya seperti SMS dan aplikasi chatting seperti whats App, Line, BBM, dan sebagainya. Barang bukti sengketa UU ITE di kepolisian seringkali hanya berupa screenshoot percakapan di SMA atau pesan di facebook.

Menurut Bayu Wardhana dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), blogger juga harus waspada terhadap UU ITE. Pasal-pasal yang perlu diperhatikan adalah pasal 27, 28, dan 29. Untuk pasal 27 dan 28 ancamannya bisa mencapai 6 tahun penjara, sedangkan pasal 29 bisa terancam 12 tahun penjara.

Yang semakin memberatkan mereka yang dianggap melanggar ketentuan, mereka bisa langsung ditahan selama penyelidikan karena hukuman pidananya di atas lima tahun. Sehingga ukuran kejahatan di ranah maya ini bisa setara dengan pencurian dan pembunuhan. Bahkan terkadang melebihi hukuman bagi para koruptor.

Berikut isi pasal 27,28, dan 29 UU ITE:

Pasal 27

(1)Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

(2)Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

(3)Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4)Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Pasal 28

(1)Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2)Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut‐nakuti yang ditujukan secara pribadi.

 Blogger sendiri bukan termasuk jurnalis. Jurnalis dalam menjalankan tugasnya tidak dapat dihukum karena mendapat perlindungan UU Pers no 40/1999. Mereka memiliki hak tolak dan mekanisme hak jawab dimana jika terjadi sengketa maka ke Dewan Pers. Sementara blogger sendiri sebenarnya dilindungi oleh pasal 28 E (3) dimana setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Juga pasal 28 F yang mengemukakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Meski dilindungi oleh UUD 1945 blogger masih bisa dijerat lewat pasal-pasal UU ITE.

Blogger yang rentan terjerat UU ITE adalah yang menulis karya jurnalistik di blog pribadinya. Untuk itu Bayu menyarankan agar blogger membuat kode etik sendiri bagi blogger dan netizen. Blogger juga dapat mengacu pada pedoman media cyber dan kode etik jurnalis yang dikeluarkan Dewan Pers.

Pedoman media cyber memuat ketentuan tentang tidak memuat konten yang bersifat fitnah, kekerasan, prasangka, kebencian, pornografi, diskriminatif, pelecehan dan sebagainya. Tapi ada kabar baik, ujar Bayu, blogger yang kerap menulis karya jurnalistik dapat juga bergabung dengan AJI sehingga terlindungi oleh UU Pers.

Mengapa revisi UU ITE perlu dikawal? Oleh karena ketiga pasal dalam UU ITE (27,28, dan 29) saat ini tergolong pasal karet dimana makna pencemaran nama baik, penghinaan, kabar bohong, menakuti-nakuti masih bias. Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik bersifat subyektif. Dan yang menguatirkan, warga yang ditindak UU ITE sudah mencapai 134 korban

Tentang pasal karet Anwari Natari dari Satu Dunia mencontohkan pasal 27 dimana ada beberapa catatan seperti definisi menditribusikan yang tidak membedakan antara komunikasi privat dan komunikasi publik. Istilah mentrasmisikan juga berarti melibatkan pihak telekomunikasi dan pengembang. Penghinaan dan/atau pencemaran naik baik juga tidak semuanya menjadi urusan negara lewat pidana karena berdasar pasal 310 KUHP ada enam jenis penghinaan.

Selain itu juga ada duplikasi hukum dan ketumpangtindihan. UU ITE ini tumpang tindih dengan UUD 1945, UU Keterbukaan Informasi Publik no 14/2008, UU Pers No 40/1999, UU Perlindungan Konsumen no 8/1999, dan pasal 310 dan 311 KUHP. Sehingga yang terjadi adalah muncul ketidakpastian hukum, jelas Anwar.

Dari 134 kasus tersebut baru 20 yang diproses dan selebihnya statusnya mengambang, ujar Asep Komarudin dari LBH Pers yang sering mendampingi korban sengketa UU ITE. Korban ini naik secara signifikan sejak tahun 2013 dengan jumlah korban sebanyak 20 orang dengan persentase terbesar adalah pelanggaran terhadap pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Ezki Suyanto yang pernah mendampingi Prita Mulyasari mengaku juga pernah menjadi korban UU ITE. Ia heran permasalahan dunia maya diperkarakan dengan hukum pidana bukan secara perdata. Ia juga menyayangkan UU ITE bisa membuat mereka yang kritis menjadi bungkam. UU ITE menurut Ezki seharusnya lebih mengatur tentang hal-hal yang terkait dengan transaksi jual beli barang dan jasa di dunia maya, ketentuan tentang pemblokiran website, perlindungan data pribadi di toko online dan sebagainya.

Pasal karet ini umumnya mengincar mereka yang vokal seperti aktivisi antikorupsi, oposan, jurnalis, dan whistle blower. Berdasarkan pencatatan Safenet dan monitoring persidangan ada empat pola sengketa UU ITE yakni balas dendam, shock therapy, membungkam kritik, dan untuk barter kasus hukum lainnya.

Dampaknya akan membuat mereka yang vokal menjadi jera untuk mengungkapkan pendapat, narasumber kritis bakal enggan berpendapat juga bisa terjadi penutupan media karena dituntut oleh gubernurnya sendiri seperti di Aceh. Untuk itu blogger dan netizen dapat mengawal revisi UU ITE yang sekarang sedang dibahas di parlemen.

Namun yang perlu diingat seandainya pasal 27, 28, dan 29 dicabut, tetap saja blogger dan netizen harus bijak berkata-kata di dunia maya dan menghindar dari hal-hal yang bersifat propaganda negatif terhadap SARA baik kepada individu, organisasi, atau pemerintah karena ada pasal-pasal dalam UU KUHP yang mengatur tentang hate speech. Antisipasi ungkapan kebencian ini juga disosialisasikan melalui surat edaran SE/06/X/2015 oleh Polri.

Untuk itu mari kita bersama-sama berupaya lebih bijak berpendapat di dunia maya.

Sumber: HukumOnline

Membangun Kesadaran Hukum Dari Hal Kecil

Pernah mendengar kata-kata bijak seperti ini? "Jika untuk hal kecil kamu tidak dapat dipercaya, bagaimana kamu akan dipercaya untuk sesuatu yang besar?".

Dalam kehidupan kita bermasyarakat, sering kali kita tidak mengindahkan dan tidak pernah patuh pada aturan-aturan kecil yang tidak punya kekuatan memaksa untuk mematuhinya.

Tapi, sebenarnya, kita telah menempatkan diri sebagai manusia yang tidak mampu untuk bertanggungjawab untuk hal besar. Kejahatan besar seperti korupsi, Kolusi dan Nepotisme tidak datang dengan sendirinya.

Orang-orang yang melakukan perbuatan keji itu pasti adalah orang-orang yang diberi tanggungjawab besar dimana mereka adalah orang yang tidak dapat menjaga tanggungjawab dalam hal kecil.

Oleh karena itu, mari kita melayakkan diri untuk dapat diberikan tanggungjawab besar dengan bertanggungjawab dari hal-hal terkecil di kehidupan kita terlebih dahulu.

Apakah anda telah berhenti pada saat lampu merah menyala? Apakah anda sudah parkir di tempat parkir atau masih di badan jalan? Apakah saat terjadi antrian, apakah anda mengikuti antrian atau menyerobot? Apakah anda sudah membuang sampah pada tempatnya? Apakah ketika anda ditilang, anda akan "berdamai" dengan polisi atau anda akan datang untuk sidang di pengadilan?

Jika hal seperti diatas sudah kita lakukan dengan kesadaran dari hati kita, maka niscaya jika kita diberi kepercayaan memegang suatu jabatan dan bahkan memimpin negara ini. KKN tidak akan tumbuh lagi di negara ini.

Mulailah dari diri kita, mulailah dari hal yang paling kecil supaya bangsa kita menjadi bangsa yang bermartabat.

Sumber: Hukumpedia

Apakah Surat Keputusan Bisa Disamakan dengan Perjanjian?

Pertanyaan:
Apakah Surat Keputusan Bisa Disamakan dengan Perjanjian?
Bagaimana perbedaan dampak hukum antara surat keputusan dan surat perjanjian? Apakah penyimpangan atas klausul di dalam surat keputusan tersebut dapat disebut sebagai wanprestasi?

Jawaban:

Intisari:
Dokumen apapun yang didalamnya memuat klausula yang mengandung suatu kewajiban untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, maka dokumen tersebut telah melahirkan sebuah perikatan, yang dapat dituntut pemenuhannya di muka pengadilan (secara perdata), apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum di dalamnya.

Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini.


ULASAN

Terima kasih atas pertanyaan anda.

Berbicara mengenai perbedaan antara dampak hukum dari Surat Keputusan dan Surat Perjanjian, maka sebelumnya kita perlu untuk mengenal Buku Ketiga dari Kitab Undang Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) tentang Perikatan. Dalam bahasa Inggris, terjemahan dari Perikatan lebih mendekati makna aslinya, yaitu obligation atau “kewajiban”.

Suatu Perikatan dimaksudkan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Dalam hal ini, Perikatan dapat timbul karena adanya suatu perjanjian atau karena undang-undang[1].

Dibawah ini kita akan membahas lebih dalam mengenai Perikatan yang lahir karena Perjanjian. Namun demikian, para pembaca juga perlu mengetahui Perikatan yang lahir karena undang-undang ada 3, yaitu Kekuasaan Orang Tua[2], Perbuatan Sukarela Untuk Mewakili Urusan Orang Lain (zaakwarneming)[3] dan Perbuatan Melawan Hukum[4].

Mengenai Perikatan yang timbul karena Perjanjian adalah manakala satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata) untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Jadi dalam hal ini, terdapat suatu kewajiban (dalam bahasa hukum disebut sebagai “prestasi”) yang melekat pada diri seseorang atau lebih yang terikat dalam perjanjian tersebut.

Sebelum menjawab pokok pertanyaan anda, saya mencoba untuk medefinisikansecara umum mengenai Surat Keputusan sebagai sebuah surat yang dikeluarkan orang atau lembaga/badan yang yang berwenang untuk menerbitkan keputusan tersebut yang bersifat mengatur atau memutuskan sesuatu yang membawa suatu akibat tertentu bagi anda atau orang lain.

Jika kita mencermati ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas, sepanjang suatu surat atau “dokumen”, baik itu berupa Surat Perjanjian maupun Surat Keputusan, yang didalamnya memuat klausula yang mengandung suatu kewajiban (prestasi) untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, maka apapun namanya, “dokumen” tersebut telah melahirkan sebuah perikatan.Sehingga dapat dituntut pemenuhannya di muka pengadilan secara perdata, apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum di dalamnya.

Tentang wanprestasi
Mengenai wanprestasi, Subekti berpendapat bahwa wanprestasi atau perbuatan cidera/ingkar janji (breach of contract) berasal dari bahasa Belanda yang artinya “prestasi” yang buruk dari seorang debitur (atau orang yang berhutang) dalam melaksanakan suatu perjanjian.

Lebih lanjut, menurut pendapat Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, penerbit PT Intermasa, halaman 45, wanprestasi seorang debitur dapat berupa:


  • a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
  • b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.


Sumber: Hukumpedia
 
View More Posts

Carousel

Hubungi Kami

Copyright © Kantor Hukum DRDR